Ketika
di kereta api perjalanan pulang ke kota blitar, telpon berdering tanda sms masuk dari seorang teman. Isi massage
tesebut ajakan untuk mengikuti konfrensi mahasiswa di Universitas Indonesia. Konferensi
ini bernama Konferensi Nasional Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara III dengan
tema “Hitam Putih Otonomi Daerah dengan tema pokok “Menyibak Perjalanan
Implementasi Otonomi Daerah Negara Indonesia”. Adapun subtema dari acara ini
adalah:
a.
Kesuksesan Otonomi Daerah: Refleksi atas Semangat Kepemimpinan
b. Pemekaran Wilayah, Langkah Awal Integrasi atau Disintegrasi Indonesia?
c. Partisipasi Masyarakat: Kunci di balik Kesuksesan Pemerintah Daerah
b. Pemekaran Wilayah, Langkah Awal Integrasi atau Disintegrasi Indonesia?
c. Partisipasi Masyarakat: Kunci di balik Kesuksesan Pemerintah Daerah
Dari
tema tersebut tim kami yang beranggotakan 4 orang (Prisca Cindy,Genut Wahyu,
I.G.A Angga, dan Wildan Taufika Raharja) mengambil sub tema yang pertama bahwa
kesuksesan otonomi daerah tersebut
merupakan refleksi atas semangat kepemipinan . Alhamdulillah paper kami
diterima dan berhak mewakili Universitas airlangga dalam konfrensi mahasiswa
Ilmu Administras Negara di Universitas Indonesia. Namun dalam konfrensi tersebut setiap
mahasiswa diharuskan membayar akomodasi yang telah ditentukan dan kami
berterimkasih kepada pihak fakultas yang sudah memberikan sumbangan dana.
Karena tidak pesan tiket kereta api jauh hari, kami kehabisan tiket kelas
ekonomi dan mau tidak mau harus membeli tiket kelas bisnis yang harga nya tiga
kali lipat dari harga ekonomi. Harga tersebut kurang sesuai dengan kantong mahasiwa. hahaha.
Petualangan
pun dimulai dari Stasiun Gubeng Kota Surabaya, Pukul 1 siang kami sudah berkumpul
di stasiun dan kurang lebih 3 jam kami menunggu, kereta api pun berangkat mulai meninggalkan kota pahlawan dan menuju
ibukota. Dalam perjalanan pun kami terlibat diskusi sampai satu persatu dari
kawan kami tertidur. Ketika kami semua terbius dinginnya malam dan suara kereta
api yang bising. Handphone dari salah satu teman kami berdiring, Genut
mendapatkan sebuah massage dari teman SMAnya di Trenggalek. Sebut saja
Jumrotul,dia ternyata juga mengikuti konnas AN di UI perwakilan dari Universitas
Negeri Yogjakarta. Kawan kami pun semakin semangat dan ingin segera sampai di
kampus kuning. Setelah lebih dari 14 jam
di dalam kereta, kami pun sampai di Stasiun Kota. Dari stasiun kota kami harus
naik KRL menuju depok tepatnya stasiun UI.
Minggu sekitar Pukul 10 pagi kami
sampai di stasiun UI dan sudah ada panitia yang
siap menjemput kami untuk mengantarkan ke wisama UI. Karena acara dan
jadwal check in dari panitia hari senin, maka kita harus merogoh uang saku
sendiri untuk menginap semalam. Tim kami terdiri dari 3 cowok dan 1 cewek dan tidak
mungkin booking 1 kamar. Jumrotul teman SMA genut ternyata juga mengalami
permasalahan yang sama. Akhirnya kami bergabung dengan perwakilan UNY dan
memasan 1 kamar untuk cowok dan 1 kamar lagi untuk cewek. Kami memiliki
keluarga baru.
Karena
acaranya dimulai esok hari, kami
jalan-jalan ke kota tua. Sayangnya genut tidak ikut dan lebih memilih untuk
mempersiapkan diri di konfresi nanti. Bersama teman-teman dari UNY kami naik
KRL kelas Ekonomi menuju Stasiun Kota. Dalam kereta tersbut saya melihat betapa
banyaknya permaslahan transportasi umum yang harus di perbaiki. Kami duduk di
gerbong yang paling belakang, karena penumpangnya tidak terlalu rame. Ketika
kereta berjalan 15 menit, terdapat segrombolan pemuda datang dari gerbong
depan, mereka berjalan sempoyongan dan ngomong yang gak jelas. Penumpang
sebelah saya berbisik,”Mas, kamu baru nymapek sini ya? Tolong temen-temnya di
ajak ke gerbong depan yang rame. Di sini bahaya, banyak pemalak”. KRL klas
ekonomi dengan harga tiket Rp 2.000, murah tapi tidak aman dan perlu penambahan
personel keamanan yang lebih banyak demi terciptanya transportasi umum yang
murah, efisen dan aman. Setelah beberapa menitpun kami sampai di Stasiun Kota.
Kami menikmati udara malam hari di kota metropolitan, lensa kamera pun tak berhenti
bekerja demi mengabadikan perjalanan kami.
Dari Stasiun Kota, kami bergegas melanjutakan perjalan kami untuk
melihat peninggaln sejarah yang lainya. Setelah berjalan beberapa menit,
terlihat bangunan tua yang berarsitektur gaya eropa. Kami menyebutnya museum
fatahilah. Kami hanya bisa menikati keindahan taman fatahilah saja, karena
museumnya tutup pada malam hari. Terdapat sepasang ondel-ondel untuk berfoto
bersama, tentunya juga memberikan ongkos pada yang punya. Hahaha. Setelah puas
berfoto di taman fatahila, saya berjalan-jalan di sekiling museum, banyak
sekali pedagang kaki lima dan para pemuda-pemudi yang sedang memadu kasih.
Adapun pemuda atau pemudi yang sedang mencari pasanganya. Tidak lupa saya
mencoba masakan khas betawi, kerak telur. Tidak terasa jam pun sudah menunjukan
pukul 10 malam, kami harus bergegas ke stasiun kereta api. Sampai disana kami
memutuskan untuk naik KRL klas AC dengan harga Rp 8.000,- karena kami anggap
lebih aman setelah kejadian di KRL klas Ekonomi. KRL terakhir menuju depok pun
berangkat dengan penumpang yang tidak terlalu ramai. KRL tersbut sangat nyaman,
kursi yang lembut, ruangan bersih dan harum.
Setelah beberapa menit di kereta,
masuk seorang yang terlihat sudah tua, berpakain kemeja putih yang kotor,
memakai tongkat dan beberpa barang bawaan.
Kemudian orang tua tersebut dihampiri oleh petugas kereta api dan menanyakan
tiket. Ternyata pak tua tersebut tidak
membili tiket dan petugas meminta untuk membayar di kereta saja. Namun pak tua mengaku tidak punya uang
sedangkan di sakunya terlihat selembar uang Rp 50.000,- . Petugas tersebut sangat dilematis. Hati
nuraninya ingin membantu dengan membiarkan pak tua tersebut, namun di sisi lain
petugas tersebut harus menjalakan tugas dan bertanggung jawab dengan
seragamnya. Akhirnya petugas tersebut dengan perasaan terpaksa mengusir orang
tua itu. Namun di sebalah saya ada wanita setengah tua yang membela orang tua,
wanita itu ingin orang tua tersebut dibiyarkan saja. Akhirnya terjadi keributan
di dalam kereta. Kemudian muncul seorang pria, beramput cepak, memakai kaos
putih polos. Dia mengaku berasal dari pegawai kereta pusat namun sedang tidak
bertugas, kemudian memberikan arahan. Bahwa yang dilakukan petugas tersebut
benar, karena dia memiliki tanggung jawab pada atasanya. Jika tidak melakukan
pekerjaanya, maka petugas tersebut bisa mendapatkan hukuman. Dari situ kita
dapat pelajaran berharga, bahwa kadang peraturan itu tidak sesuai dengan hati
nurani, teori tidak selalu bisa diterapkan di lapangan. Perlu pengkajian lebih
dalam untuk membuat suatu peraturan yang lebih sempurna.
0 komentar:
Posting Komentar