Selasa, 03 September 2013


Ketika di kereta api perjalanan pulang ke kota blitar, telpon berdering tanda  sms masuk dari seorang teman. Isi massage tesebut ajakan untuk mengikuti konfrensi mahasiswa di Universitas Indonesia. Konferensi ini bernama Konferensi Nasional Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara III dengan tema “Hitam Putih Otonomi Daerah dengan tema pokok “Menyibak Perjalanan Implementasi Otonomi Daerah Negara Indonesia”. Adapun subtema dari acara ini adalah:
a. Kesuksesan Otonomi Daerah: Refleksi atas Semangat Kepemimpinan
b. Pemekaran Wilayah, Langkah Awal Integrasi atau Disintegrasi Indonesia?
c.     Partisipasi Masyarakat: Kunci di balik Kesuksesan Pemerintah Daerah
Dari tema tersebut tim kami yang beranggotakan 4 orang (Prisca Cindy,Genut Wahyu, I.G.A Angga, dan Wildan Taufika Raharja) mengambil sub tema yang pertama bahwa kesuksesan otonomi daerah tersebut  merupakan refleksi atas semangat kepemipinan . Alhamdulillah paper kami diterima dan berhak mewakili Universitas airlangga dalam konfrensi mahasiswa Ilmu Administras Negara di Universitas Indonesia.  Namun dalam konfrensi tersebut setiap mahasiswa diharuskan membayar akomodasi yang telah ditentukan dan kami berterimkasih kepada pihak fakultas yang sudah memberikan sumbangan dana. Karena tidak pesan tiket kereta api jauh hari, kami kehabisan tiket kelas ekonomi dan mau tidak mau harus membeli tiket kelas bisnis yang harga nya tiga kali lipat dari harga ekonomi. Harga tersebut  kurang sesuai dengan kantong mahasiwa. hahaha.
Petualangan pun dimulai dari Stasiun Gubeng Kota Surabaya, Pukul 1 siang kami sudah berkumpul di stasiun dan kurang lebih 3 jam kami menunggu, kereta api pun berangkat  mulai meninggalkan kota pahlawan dan menuju ibukota. Dalam perjalanan pun kami terlibat diskusi sampai satu persatu dari kawan kami tertidur. Ketika kami semua terbius dinginnya malam dan suara kereta api yang bising. Handphone dari salah satu teman kami berdiring, Genut mendapatkan sebuah massage dari teman SMAnya di Trenggalek. Sebut saja Jumrotul,dia ternyata juga mengikuti konnas AN di UI perwakilan dari Universitas Negeri Yogjakarta. Kawan kami pun semakin semangat dan ingin segera sampai di kampus kuning.  Setelah lebih dari 14 jam di dalam kereta, kami pun sampai di Stasiun Kota. Dari stasiun kota kami harus naik KRL menuju depok tepatnya stasiun UI.


 Minggu sekitar Pukul 10 pagi kami sampai di stasiun UI dan sudah ada panitia yang  siap menjemput kami untuk mengantarkan ke wisama UI. Karena acara dan jadwal check in dari panitia hari senin, maka kita harus merogoh uang saku sendiri untuk menginap semalam. Tim kami terdiri dari 3 cowok dan 1 cewek dan tidak mungkin booking 1 kamar. Jumrotul teman SMA genut ternyata juga mengalami permasalahan yang sama. Akhirnya kami bergabung dengan perwakilan UNY dan memasan 1 kamar untuk cowok dan 1 kamar lagi untuk cewek. Kami memiliki keluarga baru.

Karena acaranya dimulai esok hari,  kami jalan-jalan ke kota tua. Sayangnya genut tidak ikut dan lebih memilih untuk mempersiapkan diri di konfresi nanti. Bersama teman-teman dari UNY kami naik KRL kelas Ekonomi menuju Stasiun Kota. Dalam kereta tersbut saya melihat betapa banyaknya permaslahan transportasi umum yang harus di perbaiki. Kami duduk di gerbong yang paling belakang, karena penumpangnya tidak terlalu rame. Ketika kereta berjalan 15 menit, terdapat segrombolan pemuda datang dari gerbong depan, mereka berjalan sempoyongan dan ngomong yang gak jelas. Penumpang sebelah saya berbisik,”Mas, kamu baru nymapek sini ya? Tolong temen-temnya di ajak ke gerbong depan yang rame. Di sini bahaya, banyak pemalak”. KRL klas ekonomi dengan harga tiket Rp 2.000, murah tapi tidak aman dan perlu penambahan personel keamanan yang lebih banyak demi terciptanya transportasi umum yang murah, efisen dan aman. Setelah beberapa menitpun kami sampai di Stasiun Kota. Kami menikmati udara malam hari di kota metropolitan, lensa kamera pun tak berhenti bekerja demi mengabadikan perjalanan kami.


  Dari Stasiun Kota, kami bergegas melanjutakan perjalan kami untuk melihat peninggaln sejarah yang lainya. Setelah berjalan beberapa menit, terlihat bangunan tua yang berarsitektur gaya eropa. Kami menyebutnya museum fatahilah. Kami hanya bisa menikati keindahan taman fatahilah saja, karena museumnya tutup pada malam hari. Terdapat sepasang ondel-ondel untuk berfoto bersama, tentunya juga memberikan ongkos pada yang punya. Hahaha. Setelah puas berfoto di taman fatahila, saya berjalan-jalan di sekiling museum, banyak sekali pedagang kaki lima dan para pemuda-pemudi yang sedang memadu kasih. Adapun pemuda atau pemudi yang sedang mencari pasanganya. Tidak lupa saya mencoba masakan khas betawi, kerak telur. Tidak terasa jam pun sudah menunjukan pukul 10 malam, kami harus bergegas ke stasiun kereta api. Sampai disana kami memutuskan untuk naik KRL klas AC dengan harga Rp 8.000,- karena kami anggap lebih aman setelah kejadian di KRL klas Ekonomi. KRL terakhir menuju depok pun berangkat dengan penumpang yang tidak terlalu ramai. KRL tersbut sangat nyaman, kursi yang lembut, ruangan bersih dan harum.

 Setelah beberapa menit di kereta, masuk seorang yang terlihat sudah tua, berpakain kemeja putih yang kotor, memakai tongkat dan beberpa barang bawaan.  Kemudian orang tua tersebut dihampiri oleh petugas kereta api dan menanyakan tiket. Ternyata pak tua tersebut tidak  membili tiket dan petugas meminta untuk membayar di kereta  saja. Namun pak tua mengaku tidak punya uang sedangkan di sakunya terlihat selembar uang Rp 50.000,- .  Petugas tersebut sangat dilematis. Hati nuraninya ingin membantu dengan membiarkan pak tua tersebut, namun di sisi lain petugas tersebut harus menjalakan tugas dan bertanggung jawab dengan seragamnya. Akhirnya petugas tersebut dengan perasaan terpaksa mengusir orang tua itu. Namun di sebalah saya ada wanita setengah tua yang membela orang tua, wanita itu ingin orang tua tersebut dibiyarkan saja. Akhirnya terjadi keributan di dalam kereta. Kemudian muncul seorang pria, beramput cepak, memakai kaos putih polos. Dia mengaku berasal dari pegawai kereta pusat namun sedang tidak bertugas, kemudian memberikan arahan. Bahwa yang dilakukan petugas tersebut benar, karena dia memiliki tanggung jawab pada atasanya. Jika tidak melakukan pekerjaanya, maka petugas tersebut bisa mendapatkan hukuman. Dari situ kita dapat pelajaran berharga, bahwa kadang peraturan itu tidak sesuai dengan hati nurani, teori tidak selalu bisa diterapkan di lapangan. Perlu pengkajian lebih dalam untuk membuat suatu peraturan yang lebih sempurna.

0 komentar:

Posting Komentar