Sebelum kita menganalisis tentang
permasalahan tersebut, kita harus mengetahui dasar teori atau definisi tentang
desentralisasi. Menurut Pasal
1 ayat (7) UU Nomor 32 Tahun 2004, diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Encyclopedia of the Social Siences (1980) menjelaskan
bahwa desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan
yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut
bidang legislatif, judikatif, atau administratif. Menurut Hoogerwerf (1978),
Desentralisasi adalah pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan-badan umum
yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan
sendiri mengambil keputusan pengaturan pemerintahan, serta struktur wewenang
yang terjadi dari hal itu. Dijabarkan juga oleh Koswara (1996) bahwa
Desentralisasi pada dasarnya mempunyai makna yaitu melalui proses desentralisasi
urusan-urusan pemerintahan yang semula termasuk wewenang dan tanggung jawab
pemerintah pusat sebagian diserahkan kepada pemerintah daerah agar
menjadi urusan rumah tangganya sehingga urusan tersebut beralih kepada dan
menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah.
Dari pengertian tersebut kemudian pemerintah
mengimplementasikan dengan membuat kebijakan tentang otonomi daerah. Pengertian otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah secara harfiah berasal
dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari
kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau
undang-undang, sehingga dapat dikatakan sebagai kewenangan untuk mengatur
sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga
sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah.
Dengan berdasarkan teori tentang
desentraslisasi yang kemudian diimplementasikan kedalam otonomi daerah yang
salah satunya melaksanakan kebijakan tentang dana perimbangan pusat dan daerah,
pembagian tersebut sudah sesuai dengan konstitusi pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Maka dari itu untuk pembagian hasil
dana perimbangan dari peneriman minyak bumi 84,5% untuk negara walapun dana tersebut belum
jelas peruntukanya. Namun jika melihat sesuai dengan mekanisme yang berlaku,
dana tersebut masuk dalam peberimaan APBN yang kemudian nantinya akan digunakan
untuk kesejahterakan masyarakat. Sedangkan untuk dana perimbangan dari
penerimaan pajak PBB dan BPHTP, udah
sesui dengan konsep otonomi daerah dengan daerah mendapatkan dana perimbangan
lebih besar daripada pemerintah pusat.Namun kesalahan dari otonomi daerah
adalah tentang pemberian/pembagian dana antara APBN ke dalam APBD. Anggaran
pemerintah 70% beredar dilingkungan pusat, sedangakan 30% beredar di tingkat
daerah. Ini berbanding terbalik dengan konsep otonomi daerah. Seharusnya dana
yang beredar itu lebih banyak di daerah untuk pengembangan daerah tersebut.
Maka dari itu otonomi daerah tidak bisa maksimal. Karena daerah hanya menerima
APBD yang sedikit. Teori desentralisasi tersebut lebih memberikan ruang kepada
pemerintah daerah dalam hal kebijakan, bukan pengelolaan keuangan seutuhnya.
Walapun ada pengelolaan keuangan yang dari penghasilan pajak daerah. Desentralisasi di pemerintah daerah memang
ada, tapi lebih dalam mengatur tetntang suatu kebijakan yang dituntut untuk
melakukan inovasi. Sedangkan untuk pengelolalaan dana lebih didominasi oleh
pemerintah pusat atau sentralisasi.